Sabtu, 04 Juni 2011

Akad Perbankan Syariah



BAB I. PENDAHULUAN 
Sudah cukup lama umat islam Indonesia, demikian juga umat islam belahan dunia lainnya (muslim word), menginginkan sisteem perekonomian yang berbasis nilai nilai dan prinsip syariah (Islam ekonomic system) untuk dapat diterapkan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi umat. Keinginan ini didasari oleh satu kesadaran untuk menerapkan islam secarah utuh dan total, seperti yang ditegaskan Allah dalam Al-Quran:
“....Apakah kalian beriman kepada sebagian Al-kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripada kalian, melainkan kenistaan dlam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah terhadap apa yang kalian perbuat[1].”
Ayat tersebut dengan tegas mengingatakan bahwa selama kita menerapkan islam secara parsial, kita akan mengalami keterpurukan duniawi dan kerugian ukhrowi. Hal ini sangat jelas, sebab selama islam hanya diwujudkan dalam bentuk ritualisme ibadah, diingat pada saat kelahiran bayi, ijab kabul pernikahan, serta penguburan mayat, sementara itu dimarginalkan dari dunia perperbankan, asuransi, pasar modal, pembiayaan proyek, dan transkasi expor impor, maka umat islam telah mengubur islam dalam-dalam dengan tangannnya sendiri.
Sistem perekonomian Barat (kapitalisme, komunisme dan sosialosme) telah menjadi sebuah isme yang mayoritas penduduk dunia telah mengadopsianya dan  telah mengimplementasikanya dalam berbagai aspek kegiatan perekonomian. Mengunakan Sistem Ekonomi Barat (west ecconomic system) terhadap sektor perekonomian suatu negara akan mengakibatkan  ketidak stabilan, kehancuran ekonomi serta akan terjadi kesenjangan sosial, dan pada akhirnya akan mengakaibatkan krisis multidimensi, karena dalam sistem West Ecconomiic System hanya menguntungkan golongan seoihak.
Krisis ekonomi yang melanda  Indonesia dan Asia pada khusunya serta resesi dan ketidakseimbangan ekonomi galobal pada umumnya, adalah suatu bukti bahwa isme bararat salah total dan tidak cocok untuk di adopsi.
Jika kita menapaktilasi tentang sejarah krisis moneter di indonesia secara spesifik, hal tersebut  tak luput dari pengimplementasian sistem ekonomi barat (west ecconomic system) pada sistem perbankan yang ada di Indonesia dengan menggunakan Sistem Bunga (Rate System).
Sekarang saatnya para Ekonom yang masih mengimani Al-Quran sebagai pedoman hidupnya dan hadits sebagai panduan aktifitasnya memperkenalkan kepada mekanisme pasar bahwa islam mempunyai paduan yang otentik tentang perekonomian.

Sebelum melangkah ke pembahasan tentang akad-akad perbankan syariah, terlebih dahulu kita akan membahas secara singkat  tentang sejarah perbankan syariah yang insyaallah akan kami bahas pada Bab II dalam makalah ini. 


 BAB II. PEMBAHASAN
   

  1. Sejarah Perbankan Syariah di Dunia
Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.

Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam.

Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam.

Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.

  1. Sejarah Perbankan Syariah di Indonesia
  1. Latar Belakang Bank Syariah
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. .Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero).
Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah.
Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Karakteristik sistem perbankan syariah yang  beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.

Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.
            Berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia.Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi syariah mulai dilakukan. Para tokoh yangterlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A., Purwata Atmadja, M. Dawam Raharjo, A.M. Saefuddin, M. Amin Aziz, dan lain-lain[2]. Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Diantaranya adalah Baitut Tanwil-Salman,Bandung,yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.
            Akan tetapi, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan lokakarya bunga bank di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada musyawarah nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990.Berdasarkan amanat munas IV MUI dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank islam di Indonesia.
            Kelompok kerja yang disebut tim perbankan MUI, petugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.

  1. PT Bank Muamalat Indonesia
            Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja tim perbankan MUI tersebut diatas. Akte pendirian PT Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Pada saat penandatanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebnyak Rp.84 miliar.
            Pada tanggal 3 November 1991 dalam acara silaturahmi presiden di istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal sebesar Rp. 106.126.382.000. dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi. Hingga September 1999, Bank Muamalat Indonesia telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan Makasar[3]
            Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah ini hanya dikategorikan sebagai “bank dengan sistem bagi hasil”, tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan . Hal ini sangat jelas tercermin dari UU No. 7 Tahun 1992, dimana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu dan merupakan “sistem” belaka.
  1.   Era Reformasi dan Perbankan Syariah
            Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya Undang-Undang No.10 Tahun 1998.Dalam undang-undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan di implementasikan oleh bank syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah.
            Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka divisi atau cabang syariah dalam institusinya. Sebagian lainnya bahkan berencana mengkonversi diri sepenuhnya menjadi bank syariah. Hal demikian diantisipasi oleh Bank Indonesia dengan mengadakan “pelatihan perbankan syariah” bagi para pejabat Bank Indonesia dari segenap bagian, terutama aparat yang berkaitan langsung seperti DPNP (Direktorat Penilitian dan Pengaturan Perbankan), kredit, pengawasan, akuntansi,riset, moneter[4]


  1. Bank Umum Syariah
Bank Syariah Mandiri (BSM) merupakan bank milik pemerintah pertama yang melandaskan operasionalnya pada prinsip syariah. Secara struktural, BSM berasal dari Bank Susila Bakti (BSB), sebagai salah satu anak perusahaan di lingkup Bank Mandiri (exBDN),yang kemudian dikonversikan menjadi bank-syariah secara penuh. Dalam rangka melancarkan proses konversi menjadi bank syariah, BSM menjalin kerja sama dengan Tazkia Institute, terutama dalam bidang pelatihan dan pendampingan konversi.
Sebagai salah satu bank yang dimiliki oleh Bank Mandiri yang memiliki aset ratusan triliun dan networking yang luas, BSM memiliki beberapa keunggulan komparatif dibanding pendahulunya. Demikian juga perkembangan politik terakhir di Aceh menjadi blessing in disguise bagi BSM.Hal ini karena BSM akan menyerahkan seluruh cabang Bank Mandiri di Aceh kepada BSM untuk dikelola secara syariah. Langkah besar ini jelas akan menggelembungkan aset BSM dari posisi pada akhir tahun 1999 sejumlah Rp.400 miliar menjadi diatas 2 hingga 3 triliun. Perkembangan ini diikuti pula dengan peningkatan jumlah cabang BSM, yaitu dari 8 menjadi lebih dari 20 buah.
  1. Cabang Syariah dari Bank Konvensional
Satu perkembangan lain perbankan syariah di Indonesia pascareformasi adalah diperkenankannya konversi cabang bank umum konvensional menjadi cabang syariah.[5]
Beberapa bank yang sudah dan akan membuka cabang syariah diantaranya:
  1. Bank IFI (membuka cabang syariah pada 28 Juni 1999)
  2. Bank Niaga (akan membuka cabang syariah)
  3. Bank BNI ’46 (telah membuka lima cabang syariah)
  4. Bank BTN (akan membuka cabang syariah)
  5. Bank Mega (akan mengkonversikan satu bank konvensional –anak perusahaannya menjadi bank syariah.
           
  1. Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Untuk memberikan pedoman bagi stakeholders perbankan syariah dan meletakkan posisi serta cara pandang Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia, selanjutnya Bank Indonesia pada tahun 2002 telah menerbitkan “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”. Dalam penyusunannya, berbagai aspek telah dipertimbangkan secara komprehensif, antara lain kondisi aktual industri perbankan syariah nasional beserta perangkat-perangkat terkait, trend perkembangan industri perbankan syariah di dunia internasional dan perkembangan sistem keuangan syariah nasional yang mulai mewujud, serta tak terlepas dari kerangka sistem keuangan yang bersifat lebih makro seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI) maupun international best practices yang dirumuskan lembaga-lembaga keuangan syariah internasional, seperti IFSB (Islamic Financial Services Board), AAOIFI dan IIFM.
Pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat dan berkontribusi secara optimal bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, maka arah pengembangan perbankan syariah nasional selalu mengacu kepada rencana-rencana strategis lainnya, seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API), Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dengan demikian upaya pengembangan perbankan syariah merupakan bagian dan kegiatan yang mendukung pencapaian rencana strategis dalam skala yang lebih besar pada tingkat nasional.
“Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” memuat visi, misi dan sasaran pengembangan perbankan syariah serta sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk menjawab tantangan utama dan mencapai sasaran dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, yaitu  pencapaian pangsa pasar perbankan syariah yang signifikan melalui pendalaman peran perbankan syariah dalam aktivitas keuangan nasional, regional dan internasional, dalam kondisi mulai terbentuknya integrasi dgn sektor keuangan syariah lainnya.
Dalam jangka pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar domestik yang potensinya masih sangat besar. Dengan kata lain, perbankan Syariah nasional harus sanggup untuk menjadi pemain domestik akan tetapi memiliki kualitas layanan dan kinerja yang bertaraf internasional.
Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi sosio-kultural di dalam mana bangsa ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem perbankan syariah akan senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri.

  1. Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah
Sebagai langkah konkrit upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia, maka Bank Indonesia telah merumuskan sebuah Grand Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syariah, sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yg meliputi aspek-aspek strategis, yaitu: Penetapan visi 2010 sebagai industri perbankan syariah terkemuka di ASEAN, pembentukan citra baru perbankan syariah nasional yang bersifat inklusif dan universal, pemetaan pasar secara lebih akurat, pengembangan produk yang lebih beragam, peningkatan layanan, serta strategi komunikasi baru yang memposisikan perbankan syariah lebih dari sekedar bank.
Selanjutnya berbagai program konkrit telah dan akan dilakukan sebagai tahap implementasi dari grand strategy pengembangan pasar keuangan perbankan syariah, antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama: menerapkan visi baru pengembangan perbankan syariah pada fase I tahun 2008 membangun pemahaman perbankan syariah sebagai Beyond Banking, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.50 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah paling atraktif di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 75%. Fase III  tahun 2010 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.124 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 81%.
Kedua: program pencitraan baru perbankan syariah yang meliputi aspek positioning, differentiation, dan branding. Positioning baru bank syariah sebagai perbankan yang saling menguntungkan kedua belah pihak, aspek diferensiasi dengan keunggulan kompetitif dengan produk dan skema yang beragam, transparans, kompeten dalam keuangan dan beretika, teknologi informasi yang selalu up-date dan user friendly, serta adanya ahli investasi keuangan syariah yang memadai. Sedangkan pada aspek branding adalah “bank syariah lebih dari sekedar bank atau beyond banking”.
Ketiga: program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal atau bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah.
Keempat: program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan  dukungan jaringan kantor yang luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.
Kelima: program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah; dan
Keenam: program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui berbagai sarana komunikasi langsung, maupun tidak langsung (media cetak, elektronik, online/web-site), yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

C.    Latar Belakang Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia[6]
Perkembangan perbankan syariah didorong oleh dua alasan utama yaitu:
1.      Adanya kehendak sebagian masyarakat untuk melaksanakan transaksi perbankan atau kegiatan ekonomi secara umum yang sejalan dengan niilai dan prinsip syariah, khususnya bebas riba.
2.      Adannya keunggulan  operasiaonal dan peroduk perbankan syariah, antara lain; mengutamakan betapa pentingnya masalah moralitas, keadilan dan transparansi dalam kegiatan operasional perbankan syariah.
Selain itu terdapat beberapa alasan pertimbangan lainnya, seperti keinginan untuk meningkatkan mobilitas dana masyarakat yang belum terserap ke sektor perbankkan, meningkatkan ketahanan sistem perbankan nasional dan menyediakan sarana bagi investor internasional untuk melaksanakan kegiatan pembiayaan dan transaksi keuangan di indonesia sesuai prinsip syariah.
Atas dasar pertimbangan tersebut, maka sejak tahun 1992 diIndonesia mulai dikembangkan  perbankan syariah. Landasan hukum dasar pengembangan perbankan syariah nasiaonal ketika itu adalah UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Pada tahun 1998, pemerintah dan DPR melakukan penyempuraan uu perbankan tersebut menjadi UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan yang didalamnya diatur tentang perbankan syariah dengan lebih jelas.
Secara tegas, uu perbankan yang baru tersebut menjelaskan bahwa dalam perbankan indonesia terdapat dua sistem (dual bankink syistem), yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah. Pelaksanaan pengaturan dan pengembangan perbankan syariah oleh Bank Indonesia, selain dalam rangka memenuhi amanat uu perbankan tersebut juga diatur dlam UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menegaskan bahwa Bank Indonesia selaku otoritas perbankan perlu mempersiapkan perangkat peraturan peraturan dan fasilitas penunjang yang mendukung operasiaonal bank syariah. Oleh karena itu program pengembangan perbankan syariah nasionalsecara legal jelas dasar hukumnya.
Dalam kegiatan pengawasan Bank Syariah, Bank Indonesia berperan dalam mendorong agar bank memenuhi aturan-aturan perbankan dan beroprasi dengan prinsip-prinsip operesional yang sehat. Sedangakan pengawasan pemenuhan prinsip-piinsip syariah, halalnya akad, transaksi dan produk perbankan syariah merupakan tangung jawab dan kewenangan Dewan Syariah Nasional  MUI (DSN-MUI) bersama Dewan Pengawas Syariah (DPS)  yang ada pada masing-masing bank syariah.

 BAB II.  AKAD-AKAD PERBANKAN SYARIAH

  1. Definisi Akad Dalam Beberapa Perspektif
1.       Definisi akad menurut UU
Istilah akad tedapat dalam UU No. 21 tahun 2008 dinyatakan alam pasal 1 angka ke 13; akad adalah kesepakatan tertulis antara bank syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai denagan prinsip syariah.
Menurut Kamus Hukum, Arti akad adalah prjanjian[7]. Ditinjau dari hukum islam, perjanjian yang sering disebut dengan akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasrkan persetujuan masing-masing. Dengan kata lain, akad merupakan perikatan antara ijab dan kabul secara yang dibenarkan syara’, yang menetapkan persetujuan kedua belah pihak[8].
Masing-masing pihak haruslah saling menghormati terhadap apa yang telah merka perjanjikan dalam suatu akad. Hal ini sesuai dengan ketentuan hukum dalam Al- Quran:
“hai orang-orang yang beriman tepatilah janji mu kepada Allah dan dan dengan sesamamu[9]
2.      Definisi akad menurut Perspektif  Islam
Akad berasal dari bahasa Arab ‘aqada artinya mengikat atau mengokohkan. Secara bahasa pengertiannya adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabath) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan  salah satunya pada yang lainnya, hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.
Dalam Al-Qur’an kata al-aqdu terdapat pada surat Al-Maidah ayat 1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Gemala Dewi S.H. beliau mengutip pendapat Fathurrahman Djamil, istilah al-aqdu dapat disamakan dengan istilah verbentenis dalam KUH Perdata.
Menurut Fiqh Islam akad berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan (ittifaq). Dalam kaitan ini peranan Ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Qabul (pernyataan menerima ikatan) sangat berpengaruh pada objek perikatannya, apabila ijab dan qabul sesuai dengan ketentuan syari’ah, maka munculah segala akibat hukum dari akad yang disepakati tersebut.
Menurut Musthafa Az-Zarka suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan mengikatkan dirinya. Kehendak tersebut sifatnya tersembunyi dalam hati, oleh karena itu menyatakannya masing-masing harus mengungkapkan dalam suatu pernyataan yang disebut Ijab dan Qabul.
Syarat umum yang harus dipenuhi suatu akad menurut ulama fiqh antara lain, pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap bertindak hukum, objek akad harus ada dan dapat diserahkan ketika akad berlangsung, akad dan objek akadnya tidak dilarang syara’, ada manfaatnya, ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis dan tujuan akad harus jelas dan diakui syara’.
Karena itulah ulama fiqh menetapkan apabila akad telah memenuhi rukun dan syarat mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan akad. Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT.  Dalam surat Al-Maidah ayat 5 yang artinya “ Hai orang-orang beriman, penuhilah akad-akad itu.
Dalam islam terdapat dua istilah dalam akad, yaitu syarat akad dan rukun akad. Rukun dapat dipahami sebagai unsur esensial yang membentuk akad, yang harus selalu dipenuhi dalam setiap suatu  transaksi, yang terdiri atas berikut ini[10]:
1.      Subjek Akad, pihak yang berakad, pihak yang berakad paling sdikit terdiri dari dua orang yang harus sudah baligh, berkal sehat dan cakap untuk melakukan hukum sendiri.
2.      Objek yang di akadkan, objek akad bermacam-macam, sesuai dengan bentuknya. Dalam akad jual beli, objeknya adalah barang yang diperjualbelikan dan harganya. Agar sesuatau akad dapat dipandang sah, objeknya memerlukan syarat sebagai berikut:
a.       Telah ada pada waktu akad diadakan. Barang yang belum wujud tidak dapat menjadi objek akad menurut kebanyakan para fukaha sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada suatu yang belum berwujud.
b.      Dapat menerima hukum akad. Dalam akad jual beli misalnya, barang yang diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai bagi pihak-pihak yan mengadakan jual beli.
c.       Dapat ditentukan dan diketahui. Objek akad harus bisa ditentukan dan diketahui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Ketidakjelasan objek akad mudah menimbulkan sengketa kemudian hari sehingga tidak memenuhi syarat menjadi objek akad. Adanya syarat ini diperlukan agar pihak-pihak bersangkutan dalam melakukan benar-benar atas dasar kerelaan bersama. Oleh Karena itu, adanya akad ini disepakati para fukaha.
d.      Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi. Objek akad harus dapat diserahka pada waktu akad terjadi, tapi hal ini tidak berarti harus diserahkan seketika. Yang dimaksud adalah pada saat yang telah ditentukan dalam akad, objek akad dapat diserahkan karena memang benar-benar adadibawah kekuasaan yang sah pihak yang bersangkutan.
   
  1. Akad/ Sighat terdiri atas berikut ini:
a.       Serah (ijab) atau penawaran, yaitu permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad untuk memperlihatkan kehendaknya dalam mengadakan akad, siapaun saja yang memulainya.
b.      Terimah (qobul) atau penerimaan, yaitu jawaban pihak yang lain sesudah adanya ijab buat menyatakan persetujuannya[11]. Yang dimaksud dengan sighat akad  adalah dengan cara bagaimana ijab dan qobul yang merupakan rukun-rukun itu dinyatakan. Sighat akad dapat dilakukan dengan cara lisan, tulisan, isyarat  maupun perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan qobul.
Sementara itu, syarat adalah unsur yang membentuk keabsahan rukun akad. Jadi, sahnya suatu akad sangat bergantung kepada terpenuhi atau tidaknya rukun dan syarat akad. Syarat sahya perjanjian sdalah sebagai bearikut[12]:
    1. Tidak menyalahi hukum syariah yang telah disepakati adanya.
    2. Terjadinya perjanjian atas dasar saling ridha dan ada pilihan.
    3. Isi perjanjian harus jelas dan gamlang
Dalam kaitannya dengan praktek  perbankan Syari’ah dan ditinjau dari segi maksud dan tujuan dari akad itu sendiri dapat digolongkan kepada dua jenis yakni Akad Tabarru’ dan Akad Tijari.

  1. AKAD TABARRU'
Akad Tabarru yaitu akad yang dimaksudkan untuk menolong sesama dan murni semata-mata mengharap ridha dan pahala dari Allah SWT, sama sekali tidak ada unsur mencari return, ataupun suatu motif. Yang termasuk katagore akad jenis ini diantaranya adalah Hibah,  Ibra, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn  dan Qirad..[3]
Selain itu menurut penyusun Eksiklopedi Islam termasuk juga dalam kategori akad Tabarru seperti Wadi’ah, Hadiah, hal ini karena tiga hal tersebut merupakan bentuk amal perbuatan baik dalam membantu sesama,oleh karena itu dikatakan bahwa akad Tabarru adalah suatu transaksi yang tidak berorientasi komersial atau non profit oriented. Transaksi model ini pada prinsipnya bukan untuk mencari keuntungan komersial akan tetapi lebih menekankan pada semangat tolong menolong dalam kebaikan (ta’awanu alal birri wattaqwa).
Dalam akad ini pihak yang berbuat kabaikan (dalam hal ini pihak bank) tidak mensyaratkan keuntungan apa-apa. Namun demikian pihak bank itu dibolehkan meminta biaya administrasi untuk menutupi (cover the cost) kepada nasabah (counter-part) tetapi tidak boleh mengambil laba dari akad ini.

  1. HIBAH. (Pemberian)
Pengertian Hibah adalah pemilikan terhadap sesuatu pada masa hidup tanpa meminta ganti. Hibah tidak sah kecuali dengan adanya ijab dari orang yang memberikan, tetapi untuk sahnya hibah tersebut menurut Imam Qudamah dari Umar bahwa sahnya hibah itu tidak disyaratkan pernyataan qabul dari si penerima hadiah.
Hal ini berdasarkan hadits bahwa Ibnu Umar berhutang unta kepada Umar, Rasulullah berkata kepada Umar dengan mata beliau. Umar berkata; Unta itu untukmu wahai Rasulullah. Rasulullah berkata: “Unta itu untukmu wahai Abdullah bin Umar, pergunakanlah sesuka hatimu”. Disini tidak ada pernyataan qabul dari nabi ketika menerima pemberian unta, juga tidak ada pernyataan qabul dari ibnu Umar ketika menerimanya dari Rasulullah.saw.

Pemberian (hibah) itu sah menurut syara’ dengan syarat-syarat antara lain
-         Si pemberi hibah (wahib) sudah bisa dalam mengelola keuangannya.
-         Hibah (barang/harta yang diberikan) harus jelas
-         Kepemilikan terhadap barang hibah itu terjadi apabila pemberian (hibah) tersebut sudah berada ditangan si penerima.(muhab).

  1.  IBRA
Menurut arti kata Ibra sama dengan melepaskan, mengikhlaskan atau menjauhkan diri dari sesuatu.
Menurut istilah Fiqh Ibra adalah pengguguran piutang dan menjadikannya milik orang yang berhutang.
Menurut syari’at Islam Ibra merupakan salah satu bentuk solidaritas dan sikap saling menolong dalam kebajikan yang sangat dianjurkan  syari’at Islam, seperti dikemukakan dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 280 yang artinya :
“Dan jika seseorang (yang berhutang itu) dalam kesukaran maka berilah ia tangguh sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan sebagian atau seluruh hutang itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.
Sehubungan dengan mendefinisikan Ibra terutama dari segi makna “ penggugaran” dan “ pemilikan” para ulama fiqh berbeda pendapat, antara lain sbb :
Ulama Madzhab Hanafi menyatakan bahwa Ibra lebih dapat diartikan pengguguran, meskipun makna pemilikan tetap ada.
Menurut Madzhab Maliki disamping bertujuan menggugurkan piutang, ibra juga dapat menggugurkan hak milik seseorang jika ingin digugurkannya. Ketika hak milik terhadap suatu benda digugurkan oleh pemiliknya, maka statusnya sama dengan hibah.
Menurut Madzhab Syafi’i, sebagian ulama mengatakan bahwa Ibra mengandung pengertian pemilikan utang untuk orang yang berhutang. Sebagian ulama lainnya mengartikan pengguguran, seperti yang dikemukakan Madzhab Hanafi.
Dari semua pendapat-pendapat ulama tersebut di atas pendapat yang terakhir ini yang paling shahih.

  1.  WAKALAH
Al-Wakalah menurut bahasa Arab dapat dipahami sebagai at-Tafwidh. Yang dimaksudkan adalah bentuk penyerahan, pendelagasian atau pemberian mandat dari seseorang kepada orang lain yang dipercayainya. Yang dimaksudkan dalam pembahasan ini wakalah yang merupakan salah salah satu jenis akad yakni pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.
Agama Islam mensyari’atkan al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Hal ini karena tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan urusannya sendiri, terkadang suatu kesempatan seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan/urusan pribadinya kepada orang lain untuk mewakili dirinya. Dalil syara’ yang membolehkan wakalah didapati dalam firman Allah pada surat Al-Kahfi :19, yang terjemahannya sbb: .
...Maka suruhlah salah seorang diantara kamu  pergi ke kota dengan membawa uang  perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makakan yang lebih baik Dan bawalah sebagian makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan jangan sekali-kali menceritakan halmu kepada siapapun”.
Dalam ayat ini dilukiskan perginya salah seorang dari ash-habul kahfi yang bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.
Selain itu dalam ayat 55 urat Yusuf disebutkan yang terjemahannya : “Dia (Yusuf) berkata “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir) karena aku sesungguhnya orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan”.
Dalam konteks ini nabi Yusuf siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga. Federal Rserve “ negeri Mesir.
Disamping ayat al-Qur’an ada juga hadits Nabi Muhammad SAW riwayat Imam Malik terdapat dalam kitab Al-Muawaththa yang artinya :
“Bahwasanya Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafii dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti Harits.
Dalam kehidupan sehari-hari Rasulullah saw telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan, seperti membayar utang, penetapan had dan membayarnya, pengurusan unta, membagi kandang hewan dan lain-lain.
Oleh karena itulah para ulama sepakat bahwa dalil kebolehan wakalah juga didasarkan dengan ijma ulama dan bahkan ada ulama yang sampai mensunnahkannya dengan alasan karena hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau bentuk tolong menolong atas dasar kebaikan.
Aplikasi wakalah dalam konteks akad tabarru dalam perbankan Syari’ah berbentuk jasa pelayanan, dimana Bank Syari’ah memberikan jasa wakalah, sebagai wakil dari nasabah sebagai pemberi kuasa (muwakil) untuk melakukan sesuatu (taukil). Dalam hal ini Bank akan mendapatkan upah atau biaya administrasi atas jasanya tersebut. Sebagai contoh bank dapat menjadi wakil untuk melakukan pembayaran tagihan listrik atau telpon kepada perusahaan listrik atau perusahaan telpon.


  1.  KAFALAH ( Guaranty)
Pengertian kafalah menurut bahasa berati al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan). Sedangkan menurut istilah adalah akad pemberian jaminan yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain, dimana pemberi jaminan (kaafil) bertanggungjawab  atas pembayaran kembali suatu utang  yang menjadi hak penerima jaminan (makful).
Dalam pengertian lain, kafalah juga berti mengalihkan tanggungjawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
Dasar disyari’atkan kafalah Firman Allah dalam surat Yusuf ayat 72: yang terjemahannya adalah :
“ Kami kehilangan alat takar  dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta, dan aku jamin itu “
Dalam tersebut kata Za’im yang berarti penjamin, dalam kaitan cerita nabi Yusuf AS ini gharim atau orang yang bertanggung jawab atas pembayaran.

  1. HAWALAH
Dalam enseklopedi Perbankan Syari’ah Hawalah bisa disebut juga Hiwalah yang berarti intiqal (perpindahan), pengalihan, atau perubahan sesuatu atau memikul sesuatu di atas pundak.
Menurut istilah Hawalah diartikan sebagai pemindahan utang dari tanggungan penerima utang (ashil) kepada tannggugan yang bertanggujawab (mushal alih) dengan
cara adanya penguat. Atau dengan kata lain adalah pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang (pihak pertama) yang sudah tidak sanggup lagi untuk membayarnya kepada pihak kedua yang memiliki kemampuan untuk mengambil alih atau untuk menuntut pembayaran utang dari/atau membayar utang kepada pihak ketiga.

  1.  RAHN (Gadai)
Pengertian Gadai (Rahn), Gadai (Rahn) secara etimologis (pendekatan kebahasaan/lughawi) yang berarti tetap, kekal, tahanan.
Gadai (rahn) menurut pengertian terminologi (istilah) terdapat beberapa pendapat, diantaranya menurut Sayyid Sabiq, Rahn adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, Rahn (Gadai) adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis, dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.

  1.  QARD ( al-Qardul Hasan)
Qard bermakna pinjaman sedang al-hasan berarti baik. Maka Qardul Hasan merupakan suatu akad perjanjian qard yang berorientasi sosial untuk membantu meringankan beban seseorang yang membutuhkan pertolongan. Dalam perjanjiannya, suatu Bank Syari’ah sebagai kreditor memberikan pinjaman kepada pihak (nasabah) dengan ketentuan penerima pinjaman akan mengembalikan pinjaman tersebut pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian akad dengan jumlah pengembalian yang ketika pinjaman itu diberikan.
Qardul Hasan atau benevolent adalah suatu akad perjanjian pinjaman lunak diberikn atas dasar kewajiban sosial semata, dengan dasar taa’wun (tolong menolong) kepada mereka yang tergolong lemah ekonominya, dimana si peminjam tidak diwajibkan untuk mengembalikan apapun kecuali modal pinjaman.

  1.  WADI’AH (Trustee Depository)
Pengertian dari segi bahasa adalah meninggalkan sesuatu atau berpisah. Dalam bahasa Indonesia diartuikan sebagai titipan.
Menurut istilah Wadi’ah berarti penguasaan orang lain untuk menjaga hartanya, baik secara sharih (jelas) maupun secara dilalah (tersirat). Atau mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan  ungkapan jelas atau melalui isyarat, contoh; “saya titipkan tas ini kepada anda “ lalu orang itu menjawab “ Saya terima “ Maka sempurnalah akad Wadi’ah.
Seperti jenis akad yang lain, Wadi’ah juga merupakan akad yang bersifat tolong menolong antara sesama manusia. Para ulama sepakat bahwa akad wadi’ah merupakan akad yang mengikat bagi kedua belah pihak. Wadi’ atau pihak yang menerima tuitipan harus bertanggungjawab atas barang yang dititipkan kepadanya, yang berarti menerima amanah untuk menjaganya.


  1.  AKAD TIJARI
Akad Tijari adalah akad yang berorientasi pada keuntungan komersial ( for propfit oriented) Dalam akad ini masing-masing pihak yang melakukan akad berhak untuk mencari keuntungan. Di dalam Bank Syari’ah biasanya yang termasuk kelompok akad ini diantaranya; Murabahah, Salam, Istisna, Musyarakah, Mudharabah, Ijarah, Ijarah muntahiya bittamlik, Sharf, Muzaraah, Mukhabarah dan Barter.


1.       MURABAHAH (Defered Payment Sale)
Menurut definisi Ulama Fiqh Murabahah adalah akad jual beli atas barang tertentu. Dalam transasksi penjualan tersebut penjual menyebutkan secara jelas barang yang akan dibeli termasuk harga pembelian barang dan keuntungan yang akan diambil.
Dalam perbankan Islam, Murabahah merupakan akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Dari transaksi tersebut bank mendapatkan keuntungan jual beli yang disepakati bersama. Selain itu murabahah juga merupakan jasa pembiayaan oleh bank melalui transaksi jual beli dengan nasabah dengan cara cicilan. Dalam hal ini bank membiayai pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabah dengan membeli  barang tersebut dari pemasok kemudian mejualnya kepada nasabah dengan menambahkan biaya keuntungan (cost-plus profit) dan ini dilakukan melalui perundingan terlebih dahulu antara bank dengan pihak nasabah yang bersangkutan.
Pemilikan barang akan dialihkan kepada nasabah secara propisional sesuai dengan cicilan yang sudah dibayar. Dengan demikian barang yang dibeli berfungsi sebagai agunan sampai seluruh biaya dilunasi.

2.      MUDHARABAH
a.      Definisi Mudharabah[13]
Mudharabah berasal dari kata dharb, bererti memeukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha[14].
Secara teknis Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100 %) modal sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Landasan syari’ah antara lain al-Qur’an surat al-Muzammil ayat 20, Surat al-Jumu’ah ayat 10 dan surat al-Baqarah ayat  198. Dari Al-Hadits riwayat Thabrani dan Ibnu majah serta Ijma para sahabat.
Secara umum  Mudharabah terbagi kepada dua jenis, pertama mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
Yang dimaksud mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul mal dengan mudharib yang cakupannya sangat luas dan dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
Sedangkan mudharabah muqayyadah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu dan tempat usaha. Adanya pembatasan ini biasanya mencerminkan kecenderungan umum si shahibul mal dalam memasuki jenis dunia usaha.

a.      Rukun-Rukun Akad Mudharabah[15]

Setiap akad pasti terdiri dari beberapa rukun, yang tidak mungkin akad tersebut dapat terwujud melainkan bila rukun-rukun itu terpenuhi seluruhnya,  demikian juga halnya dengan akad mudharabah. Dan setiap rukun dari suatu akad pasti memiliki beberapa kriteria (persyaratan) yang harus diindahkan, agar akad tersebut dapat dilakukan dengan benar dan selaras dengan syariat Allah Ta’ala.
1.      Ijab & Qabul.
Yang dimaksud dengan ijab ialah perkataan yang diucapkan oleh pihak pertama yang menghendaki terjalinnya akad mudharabah. Sedangkan qabul ialah jawaban yang mengandung persetujuan yang diucapkan oleh pihak kedua atau yang mewakilinya.
Akad mudharabah dapat berlangsung dengan segala ucapan yang menunjukkan tentangnya misalnya, “Saya ajak Anda untuk bekerja sama dalam usaha, saya sebagai pemodal, dan Anda sebagai pelaku usaha, dengan ketentuan pembagian hasil 50% banding 50%” Kemudian pihak kedua berkata, “Baiklah, saya terima tawaran Anda. Atau saya beri Anda modal untuk usaha, dan keuntungan yang berhasil Anda peroleh dibagi dua, saya 40% dan Anda 60%”
Singkat kata, tidak ada kata-kata khusus yang harus diucapkan oleh masing-masing pihak, agar mudaharabah dapat terjalin antara mereka. Hal ini dikarenakan akad mudharabah bukanlah amalan ibadah, layaknya shalat, haji, dan lain-lain. Akan tetapi, mudharabah adalah salah satu wujud interaksi sesama umat manusia, sehingga dapat dijalin dengan ungkapan apa saja, yang menunjukkan akan maksud dan kesepakatan kedua belah pihak, baik disampaikan secara lisan atau tulisan.
Penjelasan ini didukung oleh kaidah dalam ilmu fiqih yang berbunyi:
العادة محكمة
“Adat-istiadat itu memiliki kekuatan hukum”. Yang dimaksud dengan adat-istiadat disini ialah adat-istiadat yang telah berlaku dan dijalankan oleh setiap orang dan tidak menyelisihi syariat.
2.      Pemodal & Pelaku Usaha.
Orang yang dibolehkan untuk menjalin akad mudharabah ialah orang yang memenuhi empat kriteria: merdeka, telah baligh, berakal sehat, dan rasyid (mampu membelanjakan hartanya dengan baik dalam hal-hal yang berguna).
Kriteria pertama: Ia adalah seorang merdeka, dan bukan seorang budak, karena seorang budak tidak dibenarkan untuk bertransaksi kecuali dengan seizin tuannya. Yang demikian ini karena budak tidak memiliki harta benda, dan seluruh harta yang ada padanya adalah milik tuannya.
Dalil kriteria ini ialah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من باع عبدا له مال فماله لبائعه إلا أن يشترطه المبتاع
“Barangsiapa menjual seorang budak yang memiliki harta, maka harta budak itu adalah milik penjualnya, kecuali bila pembelinya mensyaratkan agar harta tersebut menjadi miliknya.” (HR. al-Bukhary dan Muslim)
Kriteria kedua: Telah baligh.
Baligh pada lelaki dapat diketahui dengan telah sampainya seseorang pada umur lima belas tahun atau telah bermimpi junub. Dan pada wanita ditandainya dengan dimulainya siklus datang bulan (haidh), atau hamil, atau telah berumur lima belas tahun.
Dalil kriteria ini ialah firman Allah Ta’ala,
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (Qs. an-Nisa’: 6)
Allah Ta'ala mensyaratkan dua hal sebelum diserahkannya harta benda anak yatim kepada mereka: mereka telah cukup umur untuk menikah yaitu telah baligh, dan mampu membelanjakan harta bendanya dengan baik (dan diriwayatkan juga dari Imam Ahmad, bahwa anak yang telah mumayyiz (kira-kira berumur tujuh tahun atau lebih) perbuatannya sah, akan tetapi harus disetujui oleh walinya (Al-Inshaf, 4/267))
Kriteria ketiga: Berakal sehat, sehingga orang yang mengalami gangguan jiwa, atau serupa tidak sah akad perniagaannya. Dan di antara orang-orang yang dinyatakan tidak berakal sehat adalah orang pikun, atau pandir.
Kriteria keempat: Ia mampu membelanjakan hartanya dengan baik, sehingga ia tidak membelanjakannya pada hal-hal yang diharamkan, juga tidak pada hal-hal yang tidak ada gunanya. Orang yang tidak mampu membelanjakan hartanya dengan baik dalam ilmu fiqih disebut dengan safih sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut,
وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَاماً.
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan bagimu.” (Qs. an-Nisa': 5)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dan dari ayat ini disimpulkan syariat hajr (cekal kebebasan membelanjakan harta) terhadap orang-orang yang tidak mampu membelanjakan hartanya dengan baik (safih) dan mereka itu ada beberapa golongan: kadang kala hajr diberlakukan atas anak kecil, karena anak kecil ucapannya tidak dianggap, kadang kala diterapkan pada orang gila, kadang kala diterapkan pada orang yang buruk dalam membelanjakan hartanya, karena akalnya yang kurang sempurna, atau agamanya yang kurang baik.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/452)
Dalil permasalahan ini ialah kisah berikut,
“Ada seseorang di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia biasa berjual beli, padahal ia kurang sempurna dalam akalnya. Kemudian keluarganya mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata kepadanya, ‘Wahai Nabi Allah, terapkanlah pada fulan hajr (batasilah kebebasan membelanjakan harta), karena ia senantiasa berjual beli ia kurang sempurna akalnya.’ Maka iapun dipanggil oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau melarangnya dari berjual beli. Kemudian ia berkata, ‘Wahai Nabi Allah, sesungguhnya saya tidak kuasa untuk menahan diri dari berjual beli.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bila engkau enggan untuk meninggalkan jual beli, maka katakanlah ketika engkau berjual beli: Ini dibeli dengan harga sekian, dan tidak ada penipuan.’” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzy dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh al-Albany)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari permintaan keluarga sahabat yang akalnya kurang sempurna tersebut, ini menunjukkan bahwa membatasi kebebasan orang yang tidak mampu membelanjakan hartanya dikarenakan ia tidak atau belum berakal atau cacat mental dari membelanjakan hartanya, adalah suatu hal yang dibenarkan dalam syariat.
3.  IJARAH
Pengertian secara etimologi ijarah disebut juga al-ajru (upah) atau al-iwadh (ganti). Ijarah disebut juga sewa, jasa atau imbalan. Sedangkan menurut Syara’ Ijarah adalah salah satu bentuk kegiatan Mu’amalah dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa menyewa dan mengontrak atau menjual jasa, atau menurut Sayid Sabiq Ijarah ini adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
Menurut Ulama Fiqh Imam Hanafi Ijarah adalah transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan.  Sedangkan menurut Ulama Syafi’i Ijarah adalah transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan dapat dimanfaatkan dengan imbalan tertentu. Sementara menurut Ulama Maliki dan Hambali Ijarah adalah pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.
Berdasarkan definisi dari para Ulama Madzhab tersebut, terdapat kesamaan pandangan bahwa adanya unsur penting dalam pembiayaan Ijarah yakni adanya manfaat pada barang yang disewakan  baik yang bersifat jasa, dan adanya imbalan atas nilai yang disepakati dalam transaksi tersebut.


  1.  IJARAH MUNTAHIYA BITTAMLIK
Transaksi ini adalah sejenis perpaduan antara akad (kontrak) jual beli dengan
akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan inilah yang membedakan denga ijarah biasa.
Adapun bentuk akad ini bergantung pada apa yang disepakati kedua belah pihak yang berkontrak. Misalnya al-ijarah dan janji menjual; nilai sewa yang mereka tentukan dalam al-ijarah; harga barang dalam transaksi jual dan kapan kepemilikan itu dipindahkan.
Aplikasinya dalam perbankan syari’ah dioprasionalisasikan dalam bentuk operasing lease maupun financial lease. Akan tetapi pada umumnya bank-bank tersebut lebih menggunakan ijarah muntahiya bittamlik ini karena lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu bank pun  tidak direpotkan mengurus pemeliharaan aset, baik saat leasing maupun sesudahnya.

  1. BAI’ AS-SALAM (Infron of Payment Sale).
Salam secara etimologi berarti salaf (pendahuluan) yang bermakna akad atau penjualan/pembuatan sesuatu yang disepakati dengan kriteria tertentu dalam tempo (tanggungan), sedang pembayarannya disegerakan.
Bai’i salam adalah suatu jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli barang, sedang pembayarannya dilakukan dimuka bukan berdasarkan fee melainkan berdasarkan keuntungan (margin). Dengan kata lain ba’i salam adalah suatu jasa free-paid purchase of goods.
Menurut para Fuqaha menamai Ba’i Salam dengan Al-Mahawij (barang-barang mendesak). Praktik jual beli ini dilakukan dengan tanpa ada barangnya di tempat, sementara dua pihak melakukan jual beli, secara mendesak.
Dasar hukum Ba’i salam ini sama dengan dasar hukum jual beli yang disyari’atkan dalam al-Qur’an, seperti Firman Allah dalam surat al-Baqarah 282 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya”

  1. ISTISHNA (Purchase by order or Manufacture)
Istishna adalah suatu transaksi jual beli antara mustashni’ (pemesan) dengan shani’i (produsen) dimana barang yang akan diperjual belikan harus dipesan terlebih dahulu dengan  kriteria yang jelas.
Secara etimologis, istishna itu adalah minta dibuatkan. Dengan demikian menurut jumhur ulama istishna sama dengan salam, karena dari objek/barang yang dipesannya harus dibuat terlebih dahulu dengan ciri-ciri tertentu seperti halnya salam. Bedanya terletak pada sistem pembayarannya, kalau salam pembayarannya dilakukan sebelum barang diterima, sedangkan istishna boleh di awal, di tengah atau diakhir setelah pesanan diterima.

  1.  MUSYARAKAH
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.
Musyarakah ada dua jenis; pertama musyarakah pemilikan dan kedua musyarakah akad (kontrak). Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan,wasiat atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.

  1.  SHARF (Valas/Money Changer)
Sarf menurut arti kata adalah penambahan, penukaran, penghindaran, pemalingan, atau transaksi jual beli. Sedangkan menurut istilah adalah suatu akad jual beli mata uang (valuta) dengan valuta lainnya, baik dengan sesama mata uang yang sejenis atau mata uang lainnya.
Menurut definisi ulama sarf adalah memperjualbelikan uang dengan uang yang sejenis maupun tidak sejenis, seperti jual beli dinar dengan dinar, dinar dengan dirham atau dirham dengan dirham. Transaksi Sarf pada dunia perekonomian dewasa ini banyak dijumpai pada bank-bank devisa valuta asing atau money changer, misalnya jual beli rupiah dengan dolar Amerika Serikat (US$) atau mata uang lainnya.
Dasar hukum diperbolehkan jual beli Sarf menurut interpretasi para ulama adalah sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Jamaah Ahli hadits dari Ubadah bin Samit kecuali Bukhari  menyatakan : Yang maksudnya “ .....jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gadum, kurma dengan kurma, anggur dengan anggur, (apabila) satu jenis (harus) kuialitas dan kuantitasnya dan dilakukan secara tunai. Apabila jenisnya berbeda, maka juallah sesuai dengan kehendakmu dengan syarat-syarat secara tunai.

  1. MUZARA’AH (Harvest Yield Profit Sharing)
Al-Muzara’ah adalah akad kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
Muzara’ah sering diidentikkan dengan mukhabarah. Dimana antara keduanya ada sedikit perbedaan antara lain, apabila benih dari pemilik lahan maka dinamakan muzara’ah, tetapi bila benih dari si penggarap maka dinamakan mukhabarah.
Landasan hukum syari’ahnya antara lain Al-Hadits riwayat dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah di Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman. Begitu juga Ijma sebagaimana  dikatakan Abu Ja’far “ Tidak ada satu rumah pun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan ¼. Hal ini telah dilakukan oleh Sayyidina Ali, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah keluarga Abu bakar dan keluarga Ali.


  1. MUKHABARAH
Sebagai disebutkan di atas bahwa Mukhabarah sering diidentikkan dengan muzara‘ah, oleh karena itu pembahasan akad ini mirip dengan pembahasan muzara’ah hanya saja dari segi benih yang digunakan adalah berasal dari si penggarap tanah[16].

  1. BARTER
Yang dimaksud akad barter ini pemberian secara sukarela suatu barang atau jasa sebagai imbalan atas perolehan suatu barang atau jasa yang berlainan sifatnya, atas dasar persetujuan bersama. Misalnya, A dan B masing-masing mempunyai barang, A menyukai barang milik B, dan sebaliknya. Jadi secara nalar keinginan mereka untuk melakukan pertukaran mendapatkan persetujuan yang diperlukan. Karenanya, didalam pertukaran terjadi pergantian kepemilikan atas barang-barang dari satu ke lain individu.
Sebagai contoh, seseorang mempunyai 1 kilogram apel yang ditukarkan dengan mangga milik sahabatnya. Melalui proses ini, yang dimiliki sekarang ialah satu kilogram apel yang sebelumnya adalah kepunyaan orang lain. Bentuk kepemilikan atas apel itu merupakan (hiazat), atau aktifitas produktif atau jasa.
Kepemilikan melalui barter ini disebut sebagai kepemilikan tingkat kedua. sebab, kepemilikan atas 1 kilogram mangga sebelumnya mengharuskan adanya kepemilikan atas satu kilogram apel, apakah melalui perolehan aktifitas produktif atau jasa.
Di dalam barter, dua nilai dihadapkan satu dengan yang lain, dan perolehan atas satu nilai yang terwujud dalam satu barang mensyaratkan penanggalan satu nilai lainnya. Namun demikian, prasyarat yang menjamin transfer kepemilikan adalah perolehan terdahulu atas barang didapatkan melalui langkah-langkah umum hiazat, (aktifitas produktif atau jasa).
Demikian juga suatu jasa kemungkinan besar dapat ditukar dengan jenis jasa yang lain. Contoh seorang dokter dan seorang tukang cat dapat saja bersepakat, bahwa sebagai ganti biaya pengobatan yang diberikan dokter, tukang cat mencat bangunan milik dokter. Sehingga dokter akan menjadi pemilik kerja tukang cat untuk jangka waktu tertentu dan tunduk pada semua ketetapan yang disepakati bersama. Dalam kasus ini kepemilikan dokter atas kerja tukang cat merupakan unsur pembentuk kepemilikan tingkat dua, dan setiap pembatalan sepihak atas persetujuan itu akan menjurus kepada pelanggaran.

       BAB IV. KESIMPULAN
  

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan sbb:
Akad adalah perikatan, perjanjian dan permufakatan (ittifaq) yang disepakai oleh dua atau beberapa pihak dan diimplimentasiikan dalam Ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Qabul (pernyataan menerima ikatan) yang dibenarkan oleh syara’ dan menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.
Jenis-jenis Akad yang yang berlaku di perbankkan syari’ah terdiri dari akad  Tabarru dan Tijari.Yang termasuk jenis Tabarru adalah Hibah, Ibra, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, Qirad, Wadi’ah, Hadiah. Sedangkan yang tergolong akad Tijari, Murabahah, Mudharabah, Ijarah, Ijarah Muntahiya Bittamlik, Salam, Istisna, Musyarakah, Sharf, Muzaraah, Mukhabarah dan Barter.

DAFTAR PUSTAKA
1.      -Al-Qur’an dan terjemahnya Khadim Haramain asy Syarifain, Mamlakah Arabiah Asuudiyah
2.      – Hasanuddin, Dr. Muhammad, S.Ag. Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syari’ah, Kaki langit, Bandung 2004.
3.      -Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta 2005
4.      Rawwas Qal’ahji, Dr. Muhammad, Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khattab ra, Raja Grapindo Persada, Jakarta, 1999.
5.      -Syafi’i Antonio, Muhammad, Bank Syari’ah dari teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2009.
6.      Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Cet ke 2 (Jakarta, Prenada Media Group, 2005, )
7.      Habib Nazir, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankkan Syari’ah, (Bandung Kaki Langit, 2004)
8.      http//www.google.com. Akad-akad perbankan syariah
9.      www. Pengusahamuslim.com
10.  Sutedi, Adrian, Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, Ghalia Indonesia, 2009.



[1] QS. Albaqarah: 85
[2] M. Amin Aziz, mengembangkan bank islam di Indonesia (Jakarta:Bankit,1992)
[3] Bank Muamalat, Annual Report (Jakarta,1999)

[4] Bank Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Pembuka Kantor Bank Syariah (Jakarta:Bank Indonesia, 1999)
[5] Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan (Jakarta : Central Bank of Indonesia and Tazkia Institute, 1999)
[6] Prof. DR. AhmadRodoni-Prof. DR. Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Zikrul, 2008, ctakkan pertama, Hal. 17.
[7] J.C.T Simorangkir, et.al., Kamus Hukum,Jakarta: Aksara Baru, 1987. Hal. 6.
[8] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi, Pengantar Fiqih Muamalat, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997. Hal. 28.
[9] Q.S. Al-Maidah ayat :1
[10] Ahmad Azhar Basyir, Azas-azas Hukum Muamalah, Yogyakarta: UII  Press. 2004. Hal. 66.
[11] Teungku Muhammad Hasbi, ibid
[12] Sayyid Sabiq, Fiqhi Ssunnah (12) & (13),Bandung: Al-Ma’arif, 1998, Hal. 178.
[13] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, (Gema Insani, Depok, cettakan ke-13, 2009, hal. 95.
[14] Muhammmad Rawas  Qal’aji, Mu’jam Luqhat Al-Fuqaha, (Birut Darun -Nafs, 1995)
[15] www.pengusahamuslim.com. Diakses pada 28 Mei 2011

[16] Lihat Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, (Gema Insani, Depok, Cetakan ke-13, 2009, hal. 99.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar